HL PEKANBARU – Tindakan Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Kota Pekanbaru yang secara masif menyegel 30 restoran pada 1 Juni 2025 patut diapresiasi sebagai bentuk ketegasan terhadap pelaku usaha yang menunggak dan memanipulasi pajak. Namun di balik semangat “penegakan hukum”, publik justru layak mempertanyakan: benarkah ini murni penegakan pajak, atau justru skenario yang mengandung motif lain?
Mari kita buka satu per satu kejanggalannya.
Penyegelan Restoran: Antara Disiplin Pajak dan Pola Tekanan
Langkah penyegelan atas dasar temuan manipulasi laporan omzet dan tunggakan pajak sejatinya merupakan implementasi dari sistem pajak self assessment. Artinya, pelaku usaha memang diwajibkan melapor sendiri. Namun, ketika pelaporan itu diklaim tidak sesuai dan pemerintah mengambil alih koreksi secara sepihak, maka sistem berubah menyerupai official assessment. Di sinilah masalahnya mulai membesar.
Apakah koreksi yang dilakukan Bapenda dilakukan secara transparan? Siapa yang memverifikasi besaran koreksi pajak tersebut?
Negosiasi Terselubung: Celah Korupsi dari Ketidakjelasan Prosedur
Dalam praktiknya, koreksi pajak oleh petugas di lapangan seringkali menjadi ruang gelap: penuh negosiasi, tawar-menawar, dan celah transaksional. Jika benar ada pelanggaran, mengapa tidak langsung dilimpahkan ke penegak hukum? Mengapa hanya disegel, lalu dibuka kembali jika pelaku usaha “melunasi” secara administratif?
Bukankah ini membuka peluang besar untuk praktik pemerasan atau kompromi transaksional? Misalnya:
“Daripada disegel seminggu, bayar ke saya saja, nanti bisa dibuka lagi…”
Skenario semacam ini bukan asumsi kosong. Dalam banyak kasus pajak daerah di Indonesia, praktik seperti ini seringkali terjadi karena pengawasan internal yang lemah dan proses audit yang tidak sepenuhnya digital.
Membuat Aturan untuk Dimainkan Sendiri?
Jika kita telisik lebih jauh, tindakan Bapenda ini justru mencurigakan karena dilakukan secara serempak dan dalam skala besar, di tiga mal ternama di Pekanbaru. Apakah ini murni tindakan hukum? Atau justru langkah yang sudah direncanakan dengan maksud tertentu?
Tendensi untuk menciptakan “krisis” pajak dan menjadikannya alat negosiasi sangat mungkin terjadi ketika:
•Regulasi teknis tidak transparan
•Prosedur audit tidak terdokumentasi
•Proses pembayaran bisa dinegosiasikan di luar
sistem Kecurigaan muncul ketika tindakan tegas ini tidak diiringi oleh upaya membuka data tunggakan ke publik atau melibatkan auditor independen.
Jika semua proses hanya diketahui oleh Bapenda dan pelaku usaha, maka sangat mungkin “penyelesaian” tidak benar-benar masuk ke kas daerah.
Waspada: Tegas Belum Tentu Bersih
Kita patut bertanya, siapa sebenarnya yang diuntungkan dalam penyegelan ini? Jika targetnya adalah PAD, mengapa bukan lembaga penegak hukum yang langsung turun? Jika targetnya edukasi, mengapa tidak ada program sosialisasi terlebih dahulu?
Bisa jadi, ini hanyalah sandiwara tahunan untuk menutupi kebocoran lama yang disengaja. Atau lebih buruk: menciptakan aturan yang bisa dijadikan alat tawar untuk praktik korupsi terselubung.
Penutup: Perlu Audit Independen
Masyarakat berhak tahu:
Berapa total tunggakan restoran-restoran itu?
Berapa yang sudah dibayarkan?
Siapa auditor independennya?
Apa dasar penyegelan dan bagaimana mekanisme pencabutannya?
Tanpa transparansi, tindakan sekeras apa pun hanya akan menjadi alat tekanan bukan penegakan. Pekanbaru tidak butuh “show of power”, tapi “show of integrity”.
(*)