HL PEKANBARU – Sejumlah pejabat eselon II di lingkungan Pemerintah Kota (Pemko) Pekanbaru dinonaktifkan atau dibebastugaskan sementara dan digantikan oleh Pelaksana Harian (Plh).
Beberapa kepala Organisasi Perangkat Daerah (OPD) yang dibebastugaskan, guna pemeriksaan oleh tim (Inspektorat) terkait permasalahan dugaan gratifikasi di KPK imbas penyidikan kasus yang menjerat mantan Penjabat (Pj) Wali Kota Pekanbaru, Risnandar Mahiwa.
Kepala OPD yang dibebastugaskan adalah Kepala Dinas Perhubungan (Dishub), Badan Penglelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD), Badan Pendapatan Daerah (Bapenda), Dinas Perkim dan Dinas PUPR.
Keputusan yang di Ambil oleh Walikota Pekanbaru Agung Nugroho Membebastugaskan 5 kepala OPD tersebut karena beralasan imbas penyidikan kasus yang menjerat mantan Penjabat (Pj) Wali Kota Pekanbaru, Risnandar Mahiwa menjadi tanda tanya besar dikalangan masyarakat dan tokoh di Riau, karena dianggap keputusan tersebut Tebang Pilih. Pasalnya diketahui ada beberapa Pejabat dan Kepala OPD yang tidak dibebastugaskan yang juga terlibat dalam Kasus tersebut, yakni Pj Sekdako Pekanbaru sekarang, Zulhelmi Arifin, Kasatpolpp Pekanbaru, Zulfahmi Adrian, serta Sekretaris DLHK Pekanbaru, Reza Fahlevi.
Menanggapi Gonjang – Ganjing di Masyarakat Pekanbaru dan dugaan adanya tebang pilih pembebasan tugas di 5 OPD Pemko Pekanbaru tersebut, Pengamat Pemerintahan dan Sosial Dr. Andree Armilis yang juga merupakan Sosiolog dan Analisis Strategic akan menimbulkan respon atau guncangan kepercayaan publik yang muncul akibat penyidikan KPK terhadap mantan Penjabat Wali Kota. Namun, persoalan yang muncul adalah proses pembebastugasan ini terkesan tidak menyeluruh dan selektif, sehingga menimbulkan kesan bahwa birokrasi masih dikelola dengan pendekatan politik kekuasaan, bukan berdasarkan prinsip tata kelola pemerintahan yang baik dan transparan.
“Dalam perspektif sosiologi pemerintahan, birokrasi merupakan representasi legitimasi negara di tingkat lokal. Ketika tindakan korektif seperti pembebastugasan pejabat dilakukan tanpa adanya transparansi, akuntabilitas, dan konsistensi, maka potensi munculnya ketidakpercayaan berlapis dari internal aparatur hingga masyarakat luas menjadi sangat besar. Prinsip keadilan administratif menjadi syarat mutlak dalam membangun tata kelola yang dipercaya publik. Jika dalam satu kasus yang sama hanya sebagian pihak yang dikenai sanksi sementara yang lain tidak, hal ini akan memunculkan kecurigaan publik terhadap adanya praktik patronase, perlindungan elit, atau kalkulasi politik yang mengaburkan nilai keadilan dan objektivitas,”papar Dr. Andree Armilis kepada Horizontallink.id melalui Pesan Whatsappnya, Selasa (27/05/2025).
Lebih lanjut, Dr. Andree juga menambahkan bahwa pembebasantugasan di 5 OPD di Lingkungan Pemko Pekanbaru tersebut juga akan beresiko tinggi terhadap pemulihan birokrasi yang Komprehensif terhadap Pelayanan Publik.
“Dari sudut pandang manajemen strategis, langkah pembebastugasan tersebut berisiko tinggi apabila tidak diikuti dengan roadmap pemulihan birokrasi yang komprehensif. Penunjukan Pelaksana Harian di lima OPD penting, seperti Dinas Perhubungan, Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah, Badan Pendapatan Daerah, Dinas Perkim, dan Dinas PUPR justru berpotensi menimbulkan stagnasi dalam pelayanan publik, mengingat para Plh tidak memiliki otoritas penuh dalam pengambilan keputusan strategis,”tambahnya.
Di penghujung Statmen, Dr Andree juga menegaskan bahwa Masalah ini bukan sekadar soal pembebastugasan pejabat, melainkan bagaimana crisis governance dapat dijalankan secara efektif. Pertanyaannya adalah apakah Pemerintah Kota mampu memulihkan kepercayaan publik dan melakukan restrukturisasi birokrasi dengan sistem meritokrasi yang jelas, atau hanya melakukan reaksi jangka pendek untuk meredam sorotan publik semata.
“Saya mendorong agar mekanisme audit yang menyeluruh terhadap keterlibatan semua pejabat dalam kasus dugaan gratifikasi dibuka untuk publik, melibatkan pihak independen, dan hasilnya diumumkan secara transparan. Dengan demikian, upaya pembenahan birokrasi tidak berhenti pada level simbolik atau kosmetik, tetapi benar-benar mampu menyentuh akar masalah, yaitu budaya transaksional yang selama ini mengakar dalam tubuh pemerintahan. Jika tidak dilakukan demikian, publik akan memandang langkah ini sebagai politik bersih-bersih yang disutradarai, bukan sebagai pembenahan yang tulus dan jujur,”tutupnya.
(Red)