Scroll untuk baca artikel
NewsOpini

Empat Pulau, Empat Luka, Saat Peta Mengangkangi Sejarah

Arya Dalimunte
6
×

Empat Pulau, Empat Luka, Saat Peta Mengangkangi Sejarah

Sebarkan artikel ini
Example 468x60

HL OPINI – Di negeri ini, peta bisu lebih dipercaya daripada ingatan kolektif manusia. Selembar kertas berisi garis-garis administratif lebih sahih di mata negara ketimbang kesaksian ribuan jiwa yang lahir, besar, dan hidup di bawah bayang sejarahnya sendiri. Itulah yang sedang terjadi di ujung utara Sumatra, ketika empat pulau kecil—Panjang, Lipan, Mangkir Gadang, dan Mangkir Ketek— menyeret Aceh dan Sumatera Utara dalam sengketa yang memalukan, membosankan, dan sesungguhnya berbahaya.

Pada 2025, Kementerian Dalam Negeri memutuskan bahwa keempat pulau itu masuk wilayah administratif Sumatera Utara. Keputusan itu konon berdasar data verifikasi rupabumi, semangat efisiensi teknokratis, dan tentu saja seperti biasa tanpa pendalaman sosiokultural. Semua seperti terburu-buru, seperti ingin menyudahi kisah yang tak mereka pahami dari awal. Padahal di tanah itu, sejarah punya taji, dan luka masa lalu tak pernah sembuh hanya dengan stempel kementerian.

Aceh pun protes. Mereka menggugat: keputusan ini menabrak Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki 2005—sebuah kesepakatan damai antara Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Salah satu isinya tegas: batas wilayah Aceh adalah sebagaimana berlaku pada 1 Juli 1956. Tapi siapa peduli? Ketika peta sudah dipotong, garis dibetot, dan rapat di Jakarta berakhir, maka sejarah lokal pun kembali menjadi korban.

Ketika Administrasi Mengalahkan Identitas

Inilah contoh sempurna dari “keteledoran stratejik” dan “kepandiran antropologis” . Pemerintah, dalam hal ini Kemendagri, menampilkan pendekatan yang terlalu teknokratis seolah persoalan tapal batas hanya perkara garis koordinat dan validasi birokrasi. Tidak ada sensitivitas terhadap nilai sosial, identitas kultural, dan trauma politik masyarakat Aceh yang puluhan tahun hidup dalam konflik.

Mereka lupa, atau mungkin tidak tahu, bahwa bagi masyarakat pesisir Aceh, pulau-pulau itu bukan sekadar titik di GPS. Itu ruang hidup. Itu tempat di mana nenek moyang mereka menambatkan sampan, menanam doa, dan menulis makna tentang siapa mereka. Ketika negara memindahkan pulau itu dari Aceh ke Sumut tanpa konsultasi dan partisipasi, itu seperti mencabut akar dari tubuh yang masih berdarah.

Padahal kita sedang bicara tentang wilayah bekas konflik. Ada banyak bekas luka. Kondisi di mana damai tidak bisa dipertahankan dengan pendekatan administratif semata. Di sana, setiap keputusan punya gema sosial. Setiap garis di peta bisa menjadi bara dalam sekam. Dan jika tak hati-hati, bisa membangkitkan ketidakpercayaan baru terhadap negara.

Negara yang Gagal Belajar dan Bahaya Kudeta Senyap

Sudah dua dekade lebih sejak Aceh meneken damai. Tapi negara tampaknya tak benar-benar belajar bahwa membangun kepercayaan masyarakat pascakonflik tidak bisa diburu waktu, apalagi dirusak dengan keputusan sepihak.

Lebih jauh, ini bukan sekadar soal empat pulau. Ini adalah ujian bagi pemerintahan Prabowo Subianto yang sedang membangun legitimasi di tahun pertamanya. Keputusan keliru seperti ini, jika dibiarkan, bisa menjadi api kecil yang menjalar ke tumpukan jerami, menyulut kekecewaan, memperkuat narasi marginalisasi, dan membuka ruang untuk gerakan bawah tanah—sebuah kudeta senyap yang tak perlu angkat senjata, cukup rakyat yang menolak untuk percaya.

Dan Presiden Prabowo tidak boleh diam. Ia harus segera mengevaluasi kinerja Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian yang telah mengeluarkan keputusan administratif sepenting ini tanpa perhitungan matang terhadap dampak sosial-politiknya. Ada banyak pertanyaan yang belum dijawab: Mengapa begitu mendesak? Siapa yang mendorong percepatan ini? Apakah ada kepentingan ekonomi tertentu di baliknya? Karena kalau tidak dijelaskan dengan terang, publik Aceh dan nasional akan mengisi kekosongan informasi dengan kecurigaan yang tak terkendali.

Presiden harus tahu, ini bukan sekadar soal teknis kewilayahan. Ini soal kepekaan terhadap sejarah, penghormatan pada perjanjian damai, dan kesinambungan keutuhan negara. Jika Prabowo abai terhadap isu ini, ia sedang membiarkan bara kecil membakar fondasi kepercayaannya di salah satu kawasan paling rawan legitimasi di republik ini.

Menuju Jalan Lurus

Masih ada waktu untuk memperbaiki. Tapi itu hanya bisa terjadi jika negara mulai menanggalkan kesombongan teknokratisnya dan membuka ruang dialog yang otentik. Audit ulang batas wilayah berdasarkan peta 1956 adalah pintu masuk. Tapi itu belum cukup. Negara harus hadir dengan telinga, bukan hanya peta. Mendengar suara masyarakat lokal, menggandeng ulama, pemuka adat, dan nelayan yang hidup dari laut di sekitar pulau-pulau itu.

Sengketa ini bukan hanya soal empat pulau. Ia adalah cermin dari cara negara memperlakukan daerah, memperlakukan sejarah, dan memperlakukan warga.

Sebab pada akhirnya, konflik bukan lahir dari perbedaan, tetapi dari ketidaksediaan mendengar.

Penulis adalah Sosiolog & Analis Strategik

(**)

Example 300250
Example 120x600

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *