HL PEKANBARU – Sidang dugaan penyalahgunaan kewenangan yang menyeret nama-nama pejabat penting di lingkungan Pemerintah Kota Pekanbaru terus bergulir dan memasuki babak yang lebih dalam. Kesaksian demi kesaksian mulai membuka tabir praktik yang diduga telah berlangsung sejak lama.
Dalam sidang yang dipimpin oleh Hakim Delta Tamtama tersebut, yang digelar pada Selasa (03/06/2025), sejumlah saksi mengungkapkan bahwa mereka telah membantu Novin oknum yang diduga menjadi sentral dalam pusaran perkara ini yaitu dalam penulisan bon pesanan sejak tahun 2020. Tidak hanya itu, para saksi juga menegaskan bahwa seluruh bon tersebut ditulis berdasarkan arahan langsung dari Novin.
Keterangan ini menguatkan dugaan bahwa praktik pemotongan GU dan TU 15% bukanlah hal baru. Bahkan, menurut catatan dan pernyataan saksi, praktik itu sudah terjadi sejak tahun 2022, ketika tampuk kepemimpinan dipegang oleh Wali Kota Firdaus dan Sekretaris Daerah M. Jamil.
Kasus ini pun mencuri perhatian publik, karena menyentuh struktur birokrasi yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam menjaga integritas dan tata kelola anggaran pemerintah. Banyak pihak menanti apakah pengakuan para saksi ini akan menyeret pihak-pihak lain yang selama ini disebut-sebut mengetahui atau bahkan turut serta dalam praktik tersebut.
Disisi lain sebuah pemandangan mengharukan terjadi di luar ruang sidang pengadilan tipikor yang tengah menyidangkan kasus dugaan korupsi dan pemotongan anggaran di lingkungan Pemko Pekanbaru. Usai memberikan kesaksian yang sarat tekanan, beberapa saksi tampak tak kuasa menahan air mata.
Tangis pecah ketika mereka bersalaman dan memeluk dua tokoh penting: Sekretaris Daerah Indra Pomi dan Penjabat Wali Kota Pekanbaru Risnandar Mahiwa. Salah satu saksi bahkan terdengar berucap lirih dengan nada tulus, “Mereka orang baik…”
Momen tersebut menjadi potret kontras dari atmosfer ruang sidang yang penuh ketegangan. Di tengah sorotan tajam terhadap praktik birokrasi dan dugaan penyimpangan anggaran, ada sisi kemanusiaan yang muncul ke permukaan. Para saksi tampak berada dalam posisi terjepit terbebani antara loyalitas, rasa bersalah.
Meski nama Indra Pomi dan Risnandar Mahiwa tidak disebut sebagai bagian dari pusaran kasus, kehadiran dan sikap mereka yang kooperatif selama proses hukum berlangsung menjadi titik simpati tersendiri. Mereka tampak menerima sapaan dan pelukan para saksi dengan tenang, tanpa ekspresi menghakimi.
Momen itu mungkin tak tercatat dalam dokumen resmi pengadilan, tetapi publik yang menyaksikan langsung tahu: dalam badai kekuasaan dan korupsi, masih ada ruang untuk empati dan harapan.
(**)